Diusianya
yang ke-78, Gereja Protestan Maluku (GPM) terus bergelut dengan panggilan untuk
memperkuat tiga pilar utama kehidupan bergereja yakni pembentukan profil
keumatan, profil pelayan, dan
profil kelembagaan.
Gereja
dan masyarakat di Maluku dan Maluku Utara sepanjang 2012-2013 bergumul dengan
persoalan bencana (khususnya banjir). Banjir bukan saja menjadi langganan
orang-orang Jakarta, tetapi sudah menyebar ke daerah-daerah. Kota Ambon, kota
Ternate, dan Bacan di Maluku Utara telah mengalami banjir yang menelan korban
jiwa dan materi. Sebagaimana diketahui, belum lama ini terjadi musibah banjir,
akibat jebolnya bendungan Wai Ela dan hampir seluruh kota Ambon tergenang
banjir yang menelan banyak korban jiwa dan materi. Menyikapi kondisi itu,
Gereja meminta perhatian pemerintah agar dapat merehabilitasi korban bencana
banjir, sehingga mereka dapat kembali menikmati hidup yang layak. Bagi GPM,
bencana yang dialami menjadi sebuah peringatan agar kita memiliki sistem
deteksi dini dan memiliki protokol penanganan bencana yang tetap untuk
mengantisipasi dan atau mengatasi bencana yang bisa muncul sewaktu-waktu.
Dalam
release tertulisnya, Ketua Sinode GPM mengatakan bahwa GPM merespons sekaligus
membingkai kesadaran bencana itu dalam tema lima tahunan : TUHAN ITU BAIK
KEPADA SEMUA CIPTAAN (Mazmur 145:9a).
Selain
itu, dalam sambutan tertulisnya, ketua Sinode GPM mengatakan bahwa 2013-2014
dapat dikatakan sebagai tahun politik. Pemilihan Kepada daerah di Maluku dan
Maluku Utara telah dilalui putaran pertama dan akan berlanjut pada putaran
kedua. GPM berdoa agar Pemilukada di Maluku maupun Maluku Utara dapat
berlangsung dengan adil dan damai. Tentu saja warga gereja yang adalah warga
masyarakat perlu berpartisipasi dalam even-even politik tersebut secara cerdas.
Warga gereja yang adalah warga negara tidak sekadar menggunakan hak pilihnya di
TPS, tetapi menggunakan kebebasan sebagai warga negara dengan melihat hak
politik sebagai anugerah Tuhan yang harus digunakan dengan baik. GPM turut
mendorong proses-proses demokratisasi, bukan sekadar pada demokrasi prosedural
tetapi lebih mengarah pada demokrasi substansial di mana sebuah elemen warga
negara dapat berpartisipasi secara optimal. Dalam konteks ini maka gereja
terpanggil untuk terus melakukan pendidikan politik bagi warga gereja demi
menumbuhkan ketahanan civil society yang kuat, dan ini mesti dimaknai sebagai
misi gereja yang utuh. Hal ini perlu ditegaskan, karena Kristus mengutus gereja
ke dalam dunia, dan olehnya berbagai dinamika dunia ini harus disikapi oleh
gereja dengan arif dan benar. Lebih lanjut kata ketua sinode
GPM, pada aspek kelembagaan, GPM juga terus merampungkan Renstra-Renstra Jemaat
dan Program Lima Tahunan Klasis. Semua ini bertujuan untuk mendinamiskan
pelayanan di jemaat agar terarah dan terukur. Dengan tersedianya dokumen
Renstra di jemaat-jemaat diharapkan para penyelenggara pelayanan dapat lebih
proaktif melakukan program-program pelayanan secara terukur dan terarah demi
pencapaian tujuan bergereja secara keseluruhan.
Dalam
sambutan tertulis ini juga, ketua sinode GPM memberi perhatian pada aspek
kepemimpinan leadership
style. Gereja mesti mengembangkan gaya kepemimpinan yang merangkul,
bukan kepemimpinan kekuasaan, yang seringkali menggunakan kekuasaan untuk
membungkam kritik. Potret kepemimpin ke depan adalah sebuah kepemimpinan yang
oikoumenis, sebuah oikumenical
leadership yang terbuka dan merangkul gereja-gereja bahkan
agama-agama. Kita bukan saja berbicara tentang kader-kader oikoumene tetapi
lebih pada sebuah gerakan oikoumene yang berbasis di jemaat-jemaat. Bukan
sekadar memperkuat dan memperbesar atau memperbanyak wadah atau insitusi
lembaga oikoumene, tetapi bagaimana gerakan oikoumene itu menjadi dinamis dan
bermuara pada pemanusiaan manusia lintas gereja, denominasi, suku, agama dan
bahkan lintas negara. Oikoumene yang memanusiakan manusia, atau meminjam
ungkapan saudara-saudara kita dari Minahasa: Sitou
Timou Tumou Tou, manusia menjadi manusia kita saling memanusiakan
satu sama lain. Dengan demikian, gerakan oikoumene juga berarti gerakan
keadilan dan perdamaian. Masih berkaitan dengan persoalan oikoumene, menurut Pdt. John Ruhulesin, GPM juga
terus mengupayakan relasi yang lebih fungsional antara GPM dan GMIH di Maluku
Utara termasuk relasi dengan gereja-gereja denominasi yang ada di Maluku dan
Maluku Utara.
Hal
lain yang tak kalah penting dan strategisnya adalah perkuatan pendidikan formal
gereja. Diperlukan sebuah re-thinking (pemikiran ulang) mulai dari Sekolah
Minggu hingga Katekisisasi. Bukan cuma peningkatakan kapasitas tetapi
dibutuhkan sesuatu yang lebih transformatif. Di sini penguatan guru sekolah
minggu/pengasuh dan pengajar katekisasi menjadi sangat penting. Kenapa perlu
penguatan kapasitas? Karena gereja terpanggil sebagai penyeimbang dalam
mekanisme bermasyarakat. Gereja menyuplai manusia yang mampu mendinamiskan
kultur demokrasi, kemanusiaan, dan seterusnya.
Dalam
usinya yang ke 78 ini GPM tidak menutup mata terhadap berbagai permasalahan
penyakit sosial seperti HIV-AIDS, NARKOBA, pratek-praktek kekerasan di ruang
domestik maupun ruang publik, termasuk korupsi dan tindakan-tindakan
intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan semangat untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, maka semua elemen terpanggil untuk
bergandengan tangan, bahu-membahu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Pada
akhirnya, ketua sinode GPM bersama MPH Sinode GPM dalam semangat HUT GPM ke-78
mengajak semua pelayan dan umatnya untuk satukan langkah menghadirkan
tanda-tanda Kerajaan Allah, dengan tetap terbuka dan berdoa “Ya Roh Kudus
kuatkan kami untuk menjadi teladan kebaikan Kristus sambil tetap mengingat
motto GPM: “Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi
pertumbuhan (1 Korintus
3:6). Sekian dan terima kasih. Syaloom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar