Selasa, 15 Oktober 2013





Diusianya yang ke-78, Gereja Protestan Maluku (GPM) terus bergelut dengan panggilan untuk memperkuat tiga pilar utama kehidupan bergereja yakni pembentukan profil keumatan, profil pelayan, dan profil kelembagaan.

Gereja dan masyarakat di Maluku dan Maluku Utara sepanjang 2012-2013 bergumul dengan persoalan bencana (khususnya banjir). Banjir bukan saja menjadi langganan orang-orang Jakarta, tetapi sudah menyebar ke daerah-daerah. Kota Ambon, kota Ternate, dan Bacan di Maluku Utara telah mengalami banjir yang menelan korban jiwa dan materi. Sebagaimana diketahui, belum lama ini terjadi musibah banjir, akibat jebolnya bendungan Wai Ela dan hampir seluruh kota Ambon tergenang banjir yang menelan banyak korban jiwa dan materi. Menyikapi kondisi itu, Gereja meminta perhatian pemerintah agar dapat merehabilitasi korban bencana banjir, sehingga mereka dapat kembali menikmati hidup yang layak. Bagi GPM, bencana yang dialami menjadi sebuah peringatan agar kita memiliki sistem deteksi dini dan memiliki protokol penanganan bencana yang tetap untuk mengantisipasi dan atau mengatasi bencana yang bisa muncul sewaktu-waktu.

Dalam release tertulisnya, Ketua Sinode GPM mengatakan bahwa GPM merespons sekaligus membingkai kesadaran bencana itu dalam tema lima tahunan : TUHAN ITU BAIK KEPADA SEMUA CIPTAAN (Mazmur 145:9a). 
Selain itu, dalam sambutan tertulisnya, ketua Sinode GPM mengatakan bahwa 2013-2014 dapat dikatakan sebagai tahun politik. Pemilihan Kepada daerah di Maluku dan Maluku Utara telah dilalui putaran pertama dan akan berlanjut pada putaran kedua. GPM berdoa agar Pemilukada di Maluku maupun Maluku Utara dapat berlangsung dengan adil dan damai. Tentu saja warga gereja yang adalah warga masyarakat perlu berpartisipasi dalam even-even politik tersebut secara cerdas. Warga gereja yang adalah warga negara tidak sekadar menggunakan hak pilihnya di TPS, tetapi menggunakan kebebasan sebagai warga negara dengan melihat hak politik sebagai anugerah Tuhan yang harus digunakan dengan baik. GPM turut mendorong proses-proses demokratisasi, bukan sekadar pada demokrasi prosedural tetapi lebih mengarah pada demokrasi substansial di mana sebuah elemen warga negara dapat berpartisipasi secara optimal. Dalam konteks ini maka gereja terpanggil untuk terus melakukan pendidikan politik bagi warga gereja demi menumbuhkan ketahanan civil society yang kuat, dan ini mesti dimaknai sebagai misi gereja yang utuh. Hal ini perlu ditegaskan, karena Kristus mengutus gereja ke dalam dunia, dan olehnya berbagai dinamika dunia ini harus disikapi oleh gereja dengan arif dan benar. Lebih lanjut kata ketua sinode GPM, pada aspek kelembagaan, GPM juga terus merampungkan Renstra-Renstra Jemaat dan Program Lima Tahunan Klasis. Semua ini bertujuan untuk mendinamiskan pelayanan di jemaat agar terarah dan terukur. Dengan tersedianya dokumen Renstra di jemaat-jemaat diharapkan para penyelenggara pelayanan dapat lebih proaktif melakukan program-program pelayanan secara terukur dan terarah demi pencapaian tujuan bergereja secara keseluruhan.

Dalam sambutan tertulis ini juga, ketua sinode GPM memberi perhatian pada aspek kepemimpinan leadership style. Gereja mesti mengembangkan gaya kepemimpinan yang merangkul, bukan kepemimpinan kekuasaan, yang seringkali menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik. Potret kepemimpin ke depan adalah sebuah kepemimpinan yang oikoumenis, sebuah oikumenical leadership yang terbuka dan merangkul gereja-gereja bahkan agama-agama. Kita bukan saja berbicara tentang kader-kader oikoumene tetapi lebih pada sebuah gerakan oikoumene yang berbasis di jemaat-jemaat. Bukan sekadar memperkuat dan memperbesar atau memperbanyak wadah atau insitusi lembaga oikoumene, tetapi bagaimana gerakan oikoumene itu menjadi dinamis dan bermuara pada pemanusiaan manusia lintas gereja, denominasi, suku, agama dan bahkan lintas negara. Oikoumene yang memanusiakan manusia, atau meminjam ungkapan saudara-saudara kita dari Minahasa: Sitou Timou Tumou Tou, manusia menjadi manusia kita saling memanusiakan satu sama lain. Dengan demikian, gerakan oikoumene juga berarti gerakan keadilan dan perdamaian. Masih berkaitan dengan persoalan oikoumene, menurut               Pdt. John Ruhulesin, GPM juga terus mengupayakan relasi yang lebih fungsional antara GPM dan GMIH di Maluku Utara termasuk relasi dengan gereja-gereja denominasi yang ada di Maluku dan Maluku Utara.
Hal lain yang tak kalah penting dan strategisnya adalah perkuatan pendidikan formal gereja. Diperlukan sebuah re-thinking (pemikiran ulang) mulai dari Sekolah Minggu hingga Katekisisasi. Bukan cuma peningkatakan kapasitas tetapi dibutuhkan sesuatu yang lebih transformatif. Di sini penguatan guru sekolah minggu/pengasuh dan pengajar katekisasi menjadi sangat penting. Kenapa perlu penguatan kapasitas? Karena gereja terpanggil sebagai penyeimbang dalam mekanisme bermasyarakat. Gereja menyuplai manusia yang mampu mendinamiskan kultur demokrasi, kemanusiaan, dan seterusnya.




Dalam usinya yang ke 78 ini GPM tidak menutup mata terhadap berbagai permasalahan penyakit sosial seperti HIV-AIDS, NARKOBA, pratek-praktek kekerasan di ruang domestik maupun ruang publik, termasuk korupsi dan tindakan-tindakan intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semangat untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, maka semua elemen terpanggil untuk bergandengan tangan, bahu-membahu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Pada akhirnya, ketua sinode GPM bersama MPH Sinode GPM dalam semangat HUT GPM ke-78 mengajak semua pelayan dan umatnya untuk satukan langkah menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, dengan tetap terbuka dan berdoa “Ya Roh Kudus kuatkan kami untuk menjadi teladan kebaikan Kristus sambil tetap mengingat motto GPM: “Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6). Sekian dan terima kasih.  Syaloom.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar