Selasa, 22 Juli 2014

TEOLOGI KUCING DAN ANJING

Baca: 2 Korintus 5:11-21

Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. (2 Korintus 5:15)

Buku Bob Sjogren dan Gerald Robison, Teologi Kucing dan Anjing, ditulis dengan latar cerita tentang dua binatang piaraan, anjing dan kucing. Kucing berpikir, “Kau memberiku makan, Kau memberiku tempat tinggal, Kau mengelusku, Kau mengasihiku. Kau pasti… pelayanku!” Sedangkan anjing berpikir, “Kau memberiku makan, Kau memberiku tempat tinggal, Kau mengelusku, Kau mengasihiku. Kau pasti… Tuanku!”

Orang dengan sikap seperti anjing memandang kebaikan Tuhan sebagai pernyataan kemuliaan-Nya. Ia menempatkan Tuhan sebagai Tuan, dan menyerahkan diri untuk melayani tujuan dan kemuliaan-Nya. Orang dengan sikap hati kucing, sebaliknya, memandang kebaikan Tuhan sebagai hal yang sudah seharusnya ia dapatkan. Ia menempatkan Tuhan sebagai pelayan, yang ada untuk melayani keinginannya.

Kristus menebus kita dengan tujuan yang tidak berpusat pada diri kita, melainkan pada diri Kristus (ay. 15). Tanpa Kristus, kita akan hidup dalam kesia-siaan dan mengakhirinya dalam penghukuman. Kematian dan kebangkitan Kristus menjadikan hidup kita menjadi berarti dan penuh pengharapan. Kita menerima anugerah keselamatan bukan untuk menyia-nyiakan anugerah tersebut, melainkan untuk menjalani hidup yang dipersembahkan seluruhnya bagi Kristus, dengan kekuatan anugerah-Nya (Rm. 12:1; 1 Kor. 15:10).

Bagaimanakah kecondongan sikap hati kita terhadap Tuhan? Seperti sikap kucing atau anjing? Kita menyerahkan diri untuk melayani Tuhan atau kita mengharapkan Tuhan melayani kita?—JOO

 
ANUGERAH YANG MENYELAMATKAN KITA ADALAH JUGA ANUGERAH
YANG MEMBERDAYAKAN KITA UNTUK MELAYANI

Kamis, 17 Juli 2014

FILOSOFI POHON KARET

Baca: 1 Korintus 4:6-13

Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah. (1 Korintus 4:12b-13a)

Apa yang paling berharga dari pohon karet? Getahnya! Dari getah tersebut rupa-rupa manfaat dinikmati umat manusia: karet gelang, bola, dan ban mobil adalah contoh benda-benda yang dibuat dengan bahan dasar karet. Seorang kawan dari Belanda pernah berkisah bahwa saat Perang Dunia II, Belanda kehilangan Hindia Belanda (sebagai wilayah jajahan) dan seluruh hasil buminya, termasuk karet. Konon, karena sama sekali tidak ada karet, sebagian orang terpaksa membuat roda sepeda dari kayu.
Guna mendapatkan getah yang berharga itu kita harus “melukai” pohon dengan menyayat batangnya. Dari hasil “luka” tersebut, keluarlah getah yang sangat besar manfaatnya. Agar memperoleh hasil yang berkelanjutan, proses “melukai” batang pun dilakukan terus-menerus. Inilah filosofi pohon karet: dilukai, tetapi malah mengeluarkan hal yang berharga. Demikian pula seharusnya sikap hati umat kristiani. Paulus telah meneladankannya dengan sangat baik. Ketika dimaki, kita memberkati; ketika dianiaya, kita sabar; ketika difitnah, kita menjawab dengan ramah. Betapa elok jika sikap ini dapat dipancarkan oleh setiap kita yang percaya kepada-Nya.
Ketika dilukai, mari belajar melepaskan pengampunan, bukan dendam dan dengki. Belajar dari pohon karet, saat dilukai, kita justru bisa mengeluarkan hal-hal yang berharga: berkat, ucapan ramah, kesabaran dan sebagainya. Maukah Anda memulainya?

POHON KARET BISA MENGELUARKAN GETAH YANG BERHARGA KALA DILUKAI.
TERLEBIH LAGI KITA, YANG DICIPTAKAN SEGAMBAR SERUPA DENGAN-NYA.

Kamis, 10 Juli 2014

Anugerah dan Pelayanan

BAZAR RW AMGPM ANUGERAH







BAHAGIA

Baca: Mazmur 1:1-6

Berbahagialah orang yang ... kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. (Mazmur 1:1-2)

Sebagai pendeta, saya kerap bertanya kepada pasangan calon pengantin tentang tujuan mereka menikah. Kebanyakan mereka menjawab, “Kami ingin memiliki keluarga bahagia.” Ketika saya berada bersama kaum lansia, ada saja orang tua yang memuji temannya beruntung karena mempunyai anak-anak yang bahagia—anak-anak yang berhasil dalam studi, kaya, memiliki pekerjaan baik. Tak jarang ia kemudian mengeluh tentang dirinya sendiri. Ia merasa nasibnya tak sebaik temantemannya, apalagi anaknya tidak memberi cukup perhatian walau sudah hidup sukses. Ah, sebenarnya apakah kebahagiaan itu?

Sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah tujuan yang harus dicapai, tetapi buah dari hubungan yang baik. Khususnya hubungan baik manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Mazmur 1:2 secara jelas mengungkapkan rahasia ini. Orang yang kesukaannya Taurat Tuhan dan merenungkannya siang malam adalah orang yang berbahagia. Mengapa? Sebab, hidupnya seperti pohon yang tumbuh di tepi aliran air—yang tak pernah kering daunnya dan berbuah pada musimnya. Ia tak punya waktu untuk bergosip dengan para pencemooh, orang fasik, dan pendosa. Dan, dari hidupnya keluar buah-buah kebaikan serta kebenaran yang bermanfaat bagi orang lain. Siapa yang tidak mau dekat dengan orang seperti ini? Ya, pasti banyak orang rindu dekat dengan orang yang kaya akan berkat Tuhan dalam hidupnya dan memberkati orang-orang di sekitarnya.

Maka, peganglah kunci ini: bergaullah dekat dengan Tuhan melalui Firman-Nya, niscaya hidup Anda bahagia!


KEBAHAGIAAN BUKAN TUJUAN YANG BISA DIUSAHAKAN TETAPI BUAH DARI HUBUNGAN YANG AKRAB DENGAN TUHAN

Rabu, 09 Juli 2014

TIM PAULUS

Baca: Filipi 4:2-9

Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: Tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawan sekerjaku yang lain. (Filipi 4:3)

Saya terkesan dengan kegiatan misi sebuah kelompok pelayanan dari Bekasi, Jawa Barat. Tuhan menaruh kerinduan dalam hati mereka untuk memberitakan Injil ke bangsa-bangsa. Setiap orang antusias untuk terlibat di dalamnya, mulai dari anak-anak sampai mereka yang telah berusia lanjut. Mereka pergi ke negara sasaran, melayani jemaat Indonesia di sana, berdoa bersama bagi negara tersebut, membagikan bingkisan, dan sebagainya.
Saya pernah beranggapan bahwa Paulus termasuk “manusia super” yang bisa melakukan segala sesuatu seorang diri. Rupanya saya keliru. Dalam menuntaskan tugas pekabaran Injil, ia tidak berjuang sendiri. Ada beberapa saudara seiman yang berjuang bersamanya. Ada Euodia dan Sintikhe yang dinasihati agar sehati sepikir dalam Tuhan (ay. 2), ada Sunsugos yang disebut “teman yang setia” (ay. 3), ada pula Klemens, dan beberapa orang yang tidak disebutkan namanya oleh Paulus. Mereka bagian dari “tim pekabaran Injil” yang sama-sama berjuang demi terselesaikannya tugas pelayanan yang Allah berikan. 
Tugas pekabaran Injil adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya milik satu orang atau satu kelompok tertentu. Mungkin kita tidak termasuk dalam tim pelayanan misi, tetapi kita dapat tetap terlibat dalam pekabaran Injil. Misalnya, mendoakan para pelayan Injil, memberi persembahan untuk misi, atau menyediakan kebutuhan mereka yang melakukan perjalanan misi. Baik mereka yang di lapangan maupun yang “di balik layar”, semua sama pentingnya di hadapan Tuhan.—GHJ

TANGGUNG JAWAB YANG DIPIKUL BERSAMA TIDAK TERASA BERAT,
TERUTAMA SAAT TIAP ORANG MELAKUKAN BAGIANNYA DENGAN BAIK

Jumat, 04 Juli 2014

PEMIMPIN YANG AMANAH

Baca: 2 Tawarikh 24

Yoas melakukan apa yang benar di mata TUHAN selama hidup imam Yoyada. (2 Tawarikh 24:2)


Bacaan Alkitab Setahun:

Mazmur 40-45
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amanah berarti sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain, dan adanya keamanan dan ketentraman. Pemimpin yang amanah dipercaya untuk membawa keamanan dan ketentraman bagi pengikutnya. Apa yang dititipkan? Wewenang untuk memimpin dan memerintah rakyat. Perlu diingat, wewenang itu berasal dari Tuhan sendiri (lihat Roma 13:1). Dengan kata lain, Allah memberikan kepada para pemimpin wewenang untuk memimpin dengan maksud untuk membawa keamanan dan ketentraman serta kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan jujur Alkitab mencatat bahwa banyak raja Yehuda dan Israel yang tidak menjalankan amanah itu dengan baik. Beberapa raja Yehuda pada awal kekuasaannya berlaku sebagai raja yang benar di mata Tuhan, misalnya Raja Yoas (ay. 2). Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Setelah Imam Yoyada wafat, Yoas tidak lagi menaati kehendak Allah (ay. 17-22). Ia mengabaikan amanah kepemimpinan yang dipegangnya sehingga Allah menghukumnya dengan menyerahkan Yehuda ke tangan tentara Aram (ay. 23-24). Yoas sendiri mati terbunuh oleh  pegawainya (ay. 25-26). Sebentar lagi kita melaksanakan Pemilu Presiden. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, mari kita memilih para pemimpin yang amanah: sosok yang memiliki karakter yang baik, integritas, dan komitmen untuk menjaga keutuhan bangsa. Pilihlah sosok yang nasionalismenya teruji, tidak korupsi, tidak cacat hukum, berpihak pada rakyat, dan menghargai kebhinekaan.—AAS
KUALITAS SEORANG PEMIMPIN BISA DILIHAT DARI STANDAR
YANG MEREKA TETAPKAN UNTUK DIRI MEREKA SENDIRI. —Ray Kroc