Senin, 08 September 2014

TIPE MANUSIA

Bacaan Alkitab : 2 Korintus 4:16-18

Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. (2 Korintus 4:17).

Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari tekanan. Ketika tekanan hidup itu datang, maka berbagai macam reaksi timbul dari diri kita. Cara pandang dan sikap kita pada saat menghadapi tekanan hidup sangat menentukan kualitas hidup kita. Dan berdasarkan hal itu, setidaknya ada empat tipe atau kualitas manusia yang dihasilkan dari datangnya sebuah tekanan hidup.

TIPE KAYU RAPUH : Manusia tipe ini biasanya kalau mengalami sedikit tekanan saja akan membuat orang ini patah arang. Orang seperti ini dalam kesehariannya terlihat bagus, tetapi sebenarnya hatinya rapuh. Sehingga orang ini akan gampang sekali mengeluh pada saat tekanan terjadi.

TIPE LEMPENG BESI : Orang tipe ini biasanya bisa bertahan dalam tekanan pada awalnya. Namun seperti layaknya besi, ketika tekanan itu semakin besar dan kompleks, ia mulai bengkok dan tidak stabil. Tipe ini menunjukkan seorang yang belum terlatih, tambahan sedikit tekanan saja ia mudah putus asa.

TIPE KAPAS : Tipe manusia ini cukup lentur saat mengalami tekanan. Ia mampu menyesuaikan diri saat terjadi tekanan. Setelah berlalu, dengan cepat ia bisa kembali pada keadaan semula. Ia cepat untuk melupakan masa lalu dan memulai lagi ke titik awal untuk memulai.

TIPE BOLA PINGPONG : Tipe seperti inilah yang seharusnya menjadi karakter umat Tuhan. Semakin besar tekanan datang, semakin tinggi ia akan memantul ke atas. Hadirnya tekanan justru dijadikannya sebagai pendorong yang kuat untuk mencapai hidup yang maksimal dan lebih baik.

CARA PANDANG DAN SIKAP KITA MENGHADAPI TEKANAN HIDUP, MENUNJUKKAN KUALITAS HIDUP KITA. BAPA BERKATI

Kamis, 07 Agustus 2014

TERMOTIVASI OLEH KESUKARAN

Baca: 2 Korintus 6:1-10

Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran. (2 Korintus 6:4)

Ia sangat pandai membuat kue. Terbukti kue-kue buatannya lezat dan banyak disukai orang. Suatu hari saya menanyainya, mengapa ia lebih suka membuat kue daripada memasak biasa. Ia menjawab, membuat kue itu lebih sukar dan lebih rumit. Contohnya, kalau kue sudah dipanggang dan lupa diberi gula, maka tak bisa diperbaiki; sedangkan dalam memasak, orang bisa menambahkan gula kapan pun ia mau. Selain itu, resep yang tepat dapat menghasilkan masakan yang lezat. Tetapi, untuk menghasilkan cake yang lezat tak cukup mengandalkan resep. Kue yang bagus ditentukan oleh bahan, pengocokan, pemanggangan, dan pengaturan panasnya.
Pembuat kue ini termasuk orang yang termotivasi oleh kesukaran. Pelayanan Paulus dan timnya juga termotivasi oleh penderitaan atau kesukaran. Kesukaran tak jadi alasan bagi Paulus untuk bersikap buruk atau menjadi batu sandungan. Sebaliknya, ia membuktikan kredibilitasnya sebagai pelayan Tuhan. Melalui penderitaan dan kesukaran yang ia hadapi, ia justru menjadi semakin murni dan semakin dewasa kerohaniannya, serta semakin banyak memberkati orang lain.
Sering kali orang termotivasi oleh uang, hadiah, atau pujian, tetapi patah arang bila menemui kesukaran, lalu menggerutu, mencela Tuhan, atau bersikap buruk yang lain. Padahal, kesukaran itu alat Tuhan untuk memperbaiki cara hidup kita (Ams. 3:12), untuk menguji dan memurnikan kita (Rm. 5:3), dan untuk mendekatkan kita kepada Tuhan (Mzm. 119:67). Bersukacitalah dalam kesukaran sebab kesukaran bisa mendatangkan kebaikan.—YES

ANDA BISA TERMOTIVASI OLEH KESUKARAN
ATAU MALAH DIPATAHKAN OLEHNYA, ITU PILIHAN ANDA

Selasa, 05 Agustus 2014

DIA PEGANG TANGANKU

Baca: Mazmur 139:7-12

Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu kan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. (Mazmur 139:9-10)

Solomon Rosenberg dengan istri, dua anak laki-laki, dan orangtuanya, ditangkap oleh tentara Nazi dan dimasukkan ke kamp konsentrasi. Di sana hanya ada satu aturan “sederhana”: “Selama kamu masih bisa bekerja, kamu boleh hidup. Namun bila kamu menjadi terlalu lemah hingga tak bisa bekerja, kamu akan dieksekusi.” Tak lama, Rosenberg menyaksikan ayah-ibunya dihukum mati. Anggota keluarga terlemah setelah mereka adalah David, si bungsu, dan ini membuat Rosenberg sangat sedih. Setiap sore, begitu mereka berkumpul kembali di barak, mereka berpelukan dan bersyukur.


Suatu sore Rosenberg pulang dan tidak menemukan keluarganya. Setelah mencari-cari, ia menemukan Joshua—putra sulungnya—sedang menangis di sudut. “Papa, hari ini terjadi juga. David tidak mampu bekerja, dan tentara menangkapnya.” Rosenberg bertanya, “Tapi, di mana ibumu?” Joshua menjawab sedih, “Pa, saat tentara datang, David menangis ketakutan. Lalu Mama berkata, ‘Tidak ada yang perlu ditakuti, David.’ Lalu Mama menggandeng tangannya dan menemani David pergi.”
Dalam Mazmur 139, Daud merayakan kemahatahuan dan kemahaadaan Allah sebagai penghiburan besar bagi umat-Nya. Perjalanan hidup kita mungkin tak “seseram” kamp konsentrasi. Namun, tetap saja ada masa yang begitu gelap dan berat. Terlalu menakutkan bila harus kita hadapi sendiri. Kadang keluarga dan kerabat tak selalu ada, tetapi Dia Mahaada. Bahkan dalam tantangan dan kesulitan terbesar pun, Bapa surgawi “akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku” (ay. 10)!

BILA HIDUP MENJADI BEGITU MENAKUTKAN,
PEGANGLAH TANGAN SANG MAHAADA DAN JANGAN LEPASKAN

Senin, 04 Agustus 2014

KALAU ENGKAU MAU

 Baca: Markus 1:40-45

Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya, "Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku." (Markus 1:40)

Dalam sebuah lelucon, seorang motivator meyakinkan pendengarnya, para caleg, untuk selalu memakai kata-kata optimistis, yang dapat menentukan nasib seseorang. “Kalau Anda katakan ‘bisa’, hal itu pasti akan terjadi, demikian pula sebaliknya,” ujar sang motivator. Serentak seluruh caleg yang hadir berkata, “Saya bisa menjadi presiden pada pemilu mendatang.” Dengan tersipu sang motivator berkata, “Maaf, kita hanya bisa punya satu presiden.”
Saat mendatangi Yesus, si kusta memilih kata “Kalau Engkau mau’”. Sangat menarik. Ini bisa ditafsirkan sebagai kalimat pesimis atau bahkan kurang beriman, mengesankan keraguan. Namun, coba kita cermati. Si kusta bukan sedang meragukan kemahakuasaan atau kemampuan Tuhan Yesus. Saat itu ia sedang menanyakan kemauan atau kehendak Tuhan Yesus untuk menyembuhkan dirinya. Ia tidak mendesakkan keinginannya atau memaksa Tuhan Yesus dengan pilihan kata yang optimistis. Ia tampaknya siap jika Tuhan tidak bersedia menyembuhkannya.
Betapa sering saat kita memohon sesuatu kepada Tuhan, kita mengawalinya dengan menyebut “Engkau Mahakuasa” atau “Tiada yang mustahil bagi-Mu”. Tentu semua itu benar. Lalu kita berkata, “Karena itu, aku pasti sembuh dan segala keinginanku akan terpenuhi.” Artinya, kita tidak menghormati kedaulatan dan kerelaan hati-Nya. Fakta bahwa Dia mampu, tidak selalu berarti Dia mau. Mari kita belajar menghormati dan menghargai kedaulatan Allah, bahkan ketika Dia tidak bersedia melakukan keinginan kita.—PBS

SEMAKIN KITA MENGENAL DIA,
SEMAKIN KITA MENGHARGAI SETIAP KEPUTUSAN-NYA

Selasa, 22 Juli 2014

TEOLOGI KUCING DAN ANJING

Baca: 2 Korintus 5:11-21

Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. (2 Korintus 5:15)

Buku Bob Sjogren dan Gerald Robison, Teologi Kucing dan Anjing, ditulis dengan latar cerita tentang dua binatang piaraan, anjing dan kucing. Kucing berpikir, “Kau memberiku makan, Kau memberiku tempat tinggal, Kau mengelusku, Kau mengasihiku. Kau pasti… pelayanku!” Sedangkan anjing berpikir, “Kau memberiku makan, Kau memberiku tempat tinggal, Kau mengelusku, Kau mengasihiku. Kau pasti… Tuanku!”

Orang dengan sikap seperti anjing memandang kebaikan Tuhan sebagai pernyataan kemuliaan-Nya. Ia menempatkan Tuhan sebagai Tuan, dan menyerahkan diri untuk melayani tujuan dan kemuliaan-Nya. Orang dengan sikap hati kucing, sebaliknya, memandang kebaikan Tuhan sebagai hal yang sudah seharusnya ia dapatkan. Ia menempatkan Tuhan sebagai pelayan, yang ada untuk melayani keinginannya.

Kristus menebus kita dengan tujuan yang tidak berpusat pada diri kita, melainkan pada diri Kristus (ay. 15). Tanpa Kristus, kita akan hidup dalam kesia-siaan dan mengakhirinya dalam penghukuman. Kematian dan kebangkitan Kristus menjadikan hidup kita menjadi berarti dan penuh pengharapan. Kita menerima anugerah keselamatan bukan untuk menyia-nyiakan anugerah tersebut, melainkan untuk menjalani hidup yang dipersembahkan seluruhnya bagi Kristus, dengan kekuatan anugerah-Nya (Rm. 12:1; 1 Kor. 15:10).

Bagaimanakah kecondongan sikap hati kita terhadap Tuhan? Seperti sikap kucing atau anjing? Kita menyerahkan diri untuk melayani Tuhan atau kita mengharapkan Tuhan melayani kita?—JOO

 
ANUGERAH YANG MENYELAMATKAN KITA ADALAH JUGA ANUGERAH
YANG MEMBERDAYAKAN KITA UNTUK MELAYANI

Kamis, 17 Juli 2014

FILOSOFI POHON KARET

Baca: 1 Korintus 4:6-13

Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah. (1 Korintus 4:12b-13a)

Apa yang paling berharga dari pohon karet? Getahnya! Dari getah tersebut rupa-rupa manfaat dinikmati umat manusia: karet gelang, bola, dan ban mobil adalah contoh benda-benda yang dibuat dengan bahan dasar karet. Seorang kawan dari Belanda pernah berkisah bahwa saat Perang Dunia II, Belanda kehilangan Hindia Belanda (sebagai wilayah jajahan) dan seluruh hasil buminya, termasuk karet. Konon, karena sama sekali tidak ada karet, sebagian orang terpaksa membuat roda sepeda dari kayu.
Guna mendapatkan getah yang berharga itu kita harus “melukai” pohon dengan menyayat batangnya. Dari hasil “luka” tersebut, keluarlah getah yang sangat besar manfaatnya. Agar memperoleh hasil yang berkelanjutan, proses “melukai” batang pun dilakukan terus-menerus. Inilah filosofi pohon karet: dilukai, tetapi malah mengeluarkan hal yang berharga. Demikian pula seharusnya sikap hati umat kristiani. Paulus telah meneladankannya dengan sangat baik. Ketika dimaki, kita memberkati; ketika dianiaya, kita sabar; ketika difitnah, kita menjawab dengan ramah. Betapa elok jika sikap ini dapat dipancarkan oleh setiap kita yang percaya kepada-Nya.
Ketika dilukai, mari belajar melepaskan pengampunan, bukan dendam dan dengki. Belajar dari pohon karet, saat dilukai, kita justru bisa mengeluarkan hal-hal yang berharga: berkat, ucapan ramah, kesabaran dan sebagainya. Maukah Anda memulainya?

POHON KARET BISA MENGELUARKAN GETAH YANG BERHARGA KALA DILUKAI.
TERLEBIH LAGI KITA, YANG DICIPTAKAN SEGAMBAR SERUPA DENGAN-NYA.

Kamis, 10 Juli 2014

Anugerah dan Pelayanan

BAZAR RW AMGPM ANUGERAH







BAHAGIA

Baca: Mazmur 1:1-6

Berbahagialah orang yang ... kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. (Mazmur 1:1-2)

Sebagai pendeta, saya kerap bertanya kepada pasangan calon pengantin tentang tujuan mereka menikah. Kebanyakan mereka menjawab, “Kami ingin memiliki keluarga bahagia.” Ketika saya berada bersama kaum lansia, ada saja orang tua yang memuji temannya beruntung karena mempunyai anak-anak yang bahagia—anak-anak yang berhasil dalam studi, kaya, memiliki pekerjaan baik. Tak jarang ia kemudian mengeluh tentang dirinya sendiri. Ia merasa nasibnya tak sebaik temantemannya, apalagi anaknya tidak memberi cukup perhatian walau sudah hidup sukses. Ah, sebenarnya apakah kebahagiaan itu?

Sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah tujuan yang harus dicapai, tetapi buah dari hubungan yang baik. Khususnya hubungan baik manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Mazmur 1:2 secara jelas mengungkapkan rahasia ini. Orang yang kesukaannya Taurat Tuhan dan merenungkannya siang malam adalah orang yang berbahagia. Mengapa? Sebab, hidupnya seperti pohon yang tumbuh di tepi aliran air—yang tak pernah kering daunnya dan berbuah pada musimnya. Ia tak punya waktu untuk bergosip dengan para pencemooh, orang fasik, dan pendosa. Dan, dari hidupnya keluar buah-buah kebaikan serta kebenaran yang bermanfaat bagi orang lain. Siapa yang tidak mau dekat dengan orang seperti ini? Ya, pasti banyak orang rindu dekat dengan orang yang kaya akan berkat Tuhan dalam hidupnya dan memberkati orang-orang di sekitarnya.

Maka, peganglah kunci ini: bergaullah dekat dengan Tuhan melalui Firman-Nya, niscaya hidup Anda bahagia!


KEBAHAGIAAN BUKAN TUJUAN YANG BISA DIUSAHAKAN TETAPI BUAH DARI HUBUNGAN YANG AKRAB DENGAN TUHAN

Rabu, 09 Juli 2014

TIM PAULUS

Baca: Filipi 4:2-9

Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: Tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawan sekerjaku yang lain. (Filipi 4:3)

Saya terkesan dengan kegiatan misi sebuah kelompok pelayanan dari Bekasi, Jawa Barat. Tuhan menaruh kerinduan dalam hati mereka untuk memberitakan Injil ke bangsa-bangsa. Setiap orang antusias untuk terlibat di dalamnya, mulai dari anak-anak sampai mereka yang telah berusia lanjut. Mereka pergi ke negara sasaran, melayani jemaat Indonesia di sana, berdoa bersama bagi negara tersebut, membagikan bingkisan, dan sebagainya.
Saya pernah beranggapan bahwa Paulus termasuk “manusia super” yang bisa melakukan segala sesuatu seorang diri. Rupanya saya keliru. Dalam menuntaskan tugas pekabaran Injil, ia tidak berjuang sendiri. Ada beberapa saudara seiman yang berjuang bersamanya. Ada Euodia dan Sintikhe yang dinasihati agar sehati sepikir dalam Tuhan (ay. 2), ada Sunsugos yang disebut “teman yang setia” (ay. 3), ada pula Klemens, dan beberapa orang yang tidak disebutkan namanya oleh Paulus. Mereka bagian dari “tim pekabaran Injil” yang sama-sama berjuang demi terselesaikannya tugas pelayanan yang Allah berikan. 
Tugas pekabaran Injil adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya milik satu orang atau satu kelompok tertentu. Mungkin kita tidak termasuk dalam tim pelayanan misi, tetapi kita dapat tetap terlibat dalam pekabaran Injil. Misalnya, mendoakan para pelayan Injil, memberi persembahan untuk misi, atau menyediakan kebutuhan mereka yang melakukan perjalanan misi. Baik mereka yang di lapangan maupun yang “di balik layar”, semua sama pentingnya di hadapan Tuhan.—GHJ

TANGGUNG JAWAB YANG DIPIKUL BERSAMA TIDAK TERASA BERAT,
TERUTAMA SAAT TIAP ORANG MELAKUKAN BAGIANNYA DENGAN BAIK

Jumat, 04 Juli 2014

PEMIMPIN YANG AMANAH

Baca: 2 Tawarikh 24

Yoas melakukan apa yang benar di mata TUHAN selama hidup imam Yoyada. (2 Tawarikh 24:2)


Bacaan Alkitab Setahun:

Mazmur 40-45
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amanah berarti sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain, dan adanya keamanan dan ketentraman. Pemimpin yang amanah dipercaya untuk membawa keamanan dan ketentraman bagi pengikutnya. Apa yang dititipkan? Wewenang untuk memimpin dan memerintah rakyat. Perlu diingat, wewenang itu berasal dari Tuhan sendiri (lihat Roma 13:1). Dengan kata lain, Allah memberikan kepada para pemimpin wewenang untuk memimpin dengan maksud untuk membawa keamanan dan ketentraman serta kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan jujur Alkitab mencatat bahwa banyak raja Yehuda dan Israel yang tidak menjalankan amanah itu dengan baik. Beberapa raja Yehuda pada awal kekuasaannya berlaku sebagai raja yang benar di mata Tuhan, misalnya Raja Yoas (ay. 2). Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Setelah Imam Yoyada wafat, Yoas tidak lagi menaati kehendak Allah (ay. 17-22). Ia mengabaikan amanah kepemimpinan yang dipegangnya sehingga Allah menghukumnya dengan menyerahkan Yehuda ke tangan tentara Aram (ay. 23-24). Yoas sendiri mati terbunuh oleh  pegawainya (ay. 25-26). Sebentar lagi kita melaksanakan Pemilu Presiden. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, mari kita memilih para pemimpin yang amanah: sosok yang memiliki karakter yang baik, integritas, dan komitmen untuk menjaga keutuhan bangsa. Pilihlah sosok yang nasionalismenya teruji, tidak korupsi, tidak cacat hukum, berpihak pada rakyat, dan menghargai kebhinekaan.—AAS
KUALITAS SEORANG PEMIMPIN BISA DILIHAT DARI STANDAR
YANG MEREKA TETAPKAN UNTUK DIRI MEREKA SENDIRI. —Ray Kroc

Minggu, 29 Juni 2014

TUJUAN BARU



Baca: Filipi 3:1-16

Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan ... panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. (Filipi 3:13-14)

Setelah berulang tahun ke-95, Margot Woelk bercerita kepada wartawan tentang pengalaman getir masa mudanya sebagai pencicip makanan Adolf Hitler. Ya, saking takutnya sang diktator diracuni musuh, ia mempekerjakan lima belas remaja perempuan untuk mencicipi makanan yang akan disantapnya. Kemiskinan dan kesulitan pada masa perang memaksa Margot mengambil pekerjaan itu. Saat melakukannya ia selalu ketakutan, “Apakah ini akan menjadi makanan terakhirku?” Selama puluhan tahun, ia terus mengalami teror kengerian. Hingga lanjut usia pun ia tak berhasil membuang ketakutan itu. “Pikiran itu terus menghantuiku setiap malam,” tuturnya pelan. 

Mengapa banyak orang gagal melupakan masa lalu yang kelam? Mereka tak punya tujuan baru yang hendak diraih. Lihatlah Saulus. Masa lalunya gelap, beringas, penuh kekerasan. Ia menangkap, menganiaya, memenjarakan banyak orang Kristen mula-mula. Dulu ia yakin pengikut Yesus itu musuh Allah, jadi mereka harus “dibasmi”. Namun, hidupnya berubah ketika Yesus menjamahnya. Saulus memperoleh pengampunan, hidup baru, tujuan baru. Ia mendapatkan panggilan untuk melayani dan memberitakan Injil keselamatan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kasih dan pengurbanan diri.

Bila masa lalu Anda gelap, penuh derita dan kekerasan, tak cukup Anda hanya berusaha melupakannya. Anda perlu jamahan Yesus yang memberi hidup baru dan memampukan Anda menangkap tujuan baru, yakni memberkati banyak orang di sekitar Anda.—SST



KEGETIRAN MASA LALU SIRNA SAAT ANDA DATANG PADA KRISTUS
DAN MEMPEROLEH HIDUP SERTA TUJUAN YANG BARU

Rabu, 25 Juni 2014

PENGUJI KESETIAAN



Baca: Rut 1:7-18

Tetapi kata Rut: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku.” (Rut 1:16)


Bacaan Alkitab Setahun:
Mazmur 1-9


Pernahkah Anda mendengar ungkapan seperti ini: "Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang"? Kalimat ini memang ditujukan kepada orang-orang yang tidak setia hidupnya. Ya, menjadi setia memang bukan pekerjaan mudah. Setia tidak semudah sewaktu kita mengucapkan janji, tetapi harus dibuktikan. Apakah Anda dan saya orang yang setia? Perlu diuji! Dan dari kisah Rut yang setia, kita dapat belajar bagaimana menjadi orang yang setia. Kesetiaan Rut diuji oleh 3 hal.
Pertama, waktu. Kebanyakan orang bisa bertahan kesetiaannya jika waktunya baik. Jika segala hal terpenuhi, jika kita memperoleh semua hal yang diingini. Tetapi apa yang terjadi ketika waktu-waktu yang baik itu lenyap? Apakah kita tetap setia? Rut menunjukkan bahwa ia tetap setia sekalipun dalam waktu penderitaan. Kedua, jarak. Seseorang bisa setia saat dekat, bagaimana jika jaraknya jauh? Ketiga, keadaan. Kalau keadaannya berjalan baik, mudah untuk setia, tetapi bagaimana jika kita mengalami keadaan yang buruk?
Apa yang membuat Rut tetap setia sekalipun tidak ada kebaikan yang bisa ia harapkan dari Naomi? Dasar kesetiaannya adalah kasih! Kasih membuatnya percaya bahwa keputusannya mengikuti Rut dan juga Tuhan tidak pernah salah. Bagaimana dengan hidup kita? Ketika tidak ada hal baik yang kita peroleh dalam hidup, ketika kita hidup dalam penderitaan, dan ketika kita merasa seolah Tuhan begitu jauh dari hidup kita, apakah kita tetap menunjukkan kesetiaan kepada-Nya? Ya, kesetiaan kita akan teruji ketika Tuhan mengizinkan hal-hal yang kurang menyenangkan terjadi dalam hidup kita. Tetapkah kita mengasihi Dia?–-SYS


WAKTU, JARAK, DAN KEADAAN
AKAN MENGUJI KESETIAAN KITA KEPADA TUHAN

Kamis, 19 Juni 2014

SUSAH DIAJAR



Baca: Matius 19:1-12

Karena kekerasan hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (Matius 19:8)


Bacaan Alkitab Setahun:
Ayub 17-20


Berita perceraian sering kita dengar. Lebih-lebih perceraian seorang publik figur, berita itu pasti cepat tersebar. Sepertinya masyarakat sudah menganggap perceraian sebagai hal biasa karena kejadiannya berulang-ulang. Akan tetapi, bagaimana kita menanggapinya jika yang bercerai orang Kristen?

Orang Farisi datang kepada Yesus untuk meminta penjelasan-Nya tentang kasus perceraian. Persoalannya, menurut mereka, hukum Yahudi melarang perceraian, tetapi Musa malah membuat peraturan tentang perceraian sehingga menimbulkan kesan bahwa Musa memperbolehkannya (ay. 7). Mereka menilai Musa tidak konsisten menegakkan peraturan agama. Tetapi Yesus tahu, di balik pertanyaan itu, mereka hanya ingin mencari pembenaran atas perceraian (ay. 3a). Yesus menegaskan bahwa hukum Taurat tidak mengizinkan perceraian. Namun, sekalipun tidak diperbolehkan, mereka tetap melanggarnya juga. Musa membuat peraturan tentang perceraian karena kenyataannya hal itu terjadi di kalangan masyarakat Yahudi. Maka, perlu dibuat aturan supaya dosa mereka tidak semakin besar. Begitulah. Sejak semula bangsa Israel dikenal sebagai bangsa yang susah diajar. Mereka mengeraskan hati terhadap didikan Tuhan melalui para nabi. 

Bagaimana kita memandang setiap didikan Tuhan dalam hidup ini? Jika sudah menjadi anak Tuhan, selayaknya kita me miliki hati yang mau diajar. Hati yang lembut membuat setiap orang menyelesaikan persoalan dalam ketundukan pada ketentuan Tuhan.—YBP

JIKA KITA MELAKUKAN PELANGGARAN LEBIH BAIK MINTA PENGAMPUNAN
BUKANNYA MENCARI PEMBENARAN