AMGPM CABANG SYALOOM RANTING ANUGERAH
Senin, 22 Desember 2014
Rabu, 15 Oktober 2014
Senin, 08 September 2014
TIPE MANUSIA
Bacaan Alkitab : 2 Korintus 4:16-18
Sebab penderitaan ringan
yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi
segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. (2 Korintus
4:17).
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari tekanan. Ketika
tekanan hidup itu datang, maka berbagai macam reaksi timbul dari diri
kita. Cara pandang dan sikap kita pada saat menghadapi tekanan hidup
sangat menentukan kualitas hidup kita. Dan berdasarkan hal itu,
setidaknya ada empat tipe atau kualitas manusia yang dihasilkan dari
datangnya sebuah tekanan hidup.
TIPE KAYU RAPUH : Manusia tipe
ini biasanya kalau mengalami sedikit tekanan saja akan membuat orang ini
patah arang. Orang seperti ini dalam kesehariannya terlihat bagus,
tetapi sebenarnya hatinya rapuh. Sehingga orang ini akan gampang sekali
mengeluh pada saat tekanan terjadi.
TIPE LEMPENG BESI : Orang
tipe ini biasanya bisa bertahan dalam tekanan pada awalnya. Namun
seperti layaknya besi, ketika tekanan itu semakin besar dan kompleks, ia
mulai bengkok dan tidak stabil. Tipe ini menunjukkan seorang yang belum
terlatih, tambahan sedikit tekanan saja ia mudah putus asa.
TIPE
KAPAS : Tipe manusia ini cukup lentur saat mengalami tekanan. Ia mampu
menyesuaikan diri saat terjadi tekanan. Setelah berlalu, dengan cepat
ia bisa kembali pada keadaan semula. Ia cepat untuk melupakan masa lalu
dan memulai lagi ke titik awal untuk memulai.
TIPE BOLA PINGPONG :
Tipe seperti inilah yang seharusnya menjadi karakter umat Tuhan.
Semakin besar tekanan datang, semakin tinggi ia akan memantul ke atas.
Hadirnya tekanan justru dijadikannya sebagai pendorong yang kuat untuk
mencapai hidup yang maksimal dan lebih baik.
CARA PANDANG DAN SIKAP KITA MENGHADAPI TEKANAN HIDUP, MENUNJUKKAN KUALITAS HIDUP KITA. BAPA BERKATI
Kamis, 07 Agustus 2014
TERMOTIVASI OLEH KESUKARAN
Baca: 2 Korintus 6:1-10
Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran. (2 Korintus 6:4)
Ia sangat pandai membuat kue. Terbukti kue-kue buatannya lezat dan banyak disukai orang. Suatu hari saya menanyainya, mengapa ia lebih suka membuat kue daripada memasak biasa. Ia menjawab, membuat kue itu lebih sukar dan lebih rumit. Contohnya, kalau kue sudah dipanggang dan lupa diberi gula, maka tak bisa diperbaiki; sedangkan dalam memasak, orang bisa menambahkan gula kapan pun ia mau. Selain itu, resep yang tepat dapat menghasilkan masakan yang lezat. Tetapi, untuk menghasilkan cake yang lezat tak cukup mengandalkan resep. Kue yang bagus ditentukan oleh bahan, pengocokan, pemanggangan, dan pengaturan panasnya.
Pembuat kue ini termasuk orang yang termotivasi oleh kesukaran. Pelayanan Paulus dan timnya juga termotivasi oleh penderitaan atau kesukaran. Kesukaran tak jadi alasan bagi Paulus untuk bersikap buruk atau menjadi batu sandungan. Sebaliknya, ia membuktikan kredibilitasnya sebagai pelayan Tuhan. Melalui penderitaan dan kesukaran yang ia hadapi, ia justru menjadi semakin murni dan semakin dewasa kerohaniannya, serta semakin banyak memberkati orang lain.
Sering kali orang termotivasi oleh uang, hadiah, atau pujian, tetapi patah arang bila menemui kesukaran, lalu menggerutu, mencela Tuhan, atau bersikap buruk yang lain. Padahal, kesukaran itu alat Tuhan untuk memperbaiki cara hidup kita (Ams. 3:12), untuk menguji dan memurnikan kita (Rm. 5:3), dan untuk mendekatkan kita kepada Tuhan (Mzm. 119:67). Bersukacitalah dalam kesukaran sebab kesukaran bisa mendatangkan kebaikan.—YES
Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran. (2 Korintus 6:4)
Ia sangat pandai membuat kue. Terbukti kue-kue buatannya lezat dan banyak disukai orang. Suatu hari saya menanyainya, mengapa ia lebih suka membuat kue daripada memasak biasa. Ia menjawab, membuat kue itu lebih sukar dan lebih rumit. Contohnya, kalau kue sudah dipanggang dan lupa diberi gula, maka tak bisa diperbaiki; sedangkan dalam memasak, orang bisa menambahkan gula kapan pun ia mau. Selain itu, resep yang tepat dapat menghasilkan masakan yang lezat. Tetapi, untuk menghasilkan cake yang lezat tak cukup mengandalkan resep. Kue yang bagus ditentukan oleh bahan, pengocokan, pemanggangan, dan pengaturan panasnya.
Pembuat kue ini termasuk orang yang termotivasi oleh kesukaran. Pelayanan Paulus dan timnya juga termotivasi oleh penderitaan atau kesukaran. Kesukaran tak jadi alasan bagi Paulus untuk bersikap buruk atau menjadi batu sandungan. Sebaliknya, ia membuktikan kredibilitasnya sebagai pelayan Tuhan. Melalui penderitaan dan kesukaran yang ia hadapi, ia justru menjadi semakin murni dan semakin dewasa kerohaniannya, serta semakin banyak memberkati orang lain.
Sering kali orang termotivasi oleh uang, hadiah, atau pujian, tetapi patah arang bila menemui kesukaran, lalu menggerutu, mencela Tuhan, atau bersikap buruk yang lain. Padahal, kesukaran itu alat Tuhan untuk memperbaiki cara hidup kita (Ams. 3:12), untuk menguji dan memurnikan kita (Rm. 5:3), dan untuk mendekatkan kita kepada Tuhan (Mzm. 119:67). Bersukacitalah dalam kesukaran sebab kesukaran bisa mendatangkan kebaikan.—YES
ANDA BISA TERMOTIVASI OLEH KESUKARAN
ATAU MALAH DIPATAHKAN OLEHNYA, ITU PILIHAN ANDA
ATAU MALAH DIPATAHKAN OLEHNYA, ITU PILIHAN ANDA
Selasa, 05 Agustus 2014
DIA PEGANG TANGANKU
Baca: Mazmur 139:7-12
Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu kan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. (Mazmur 139:9-10)
Solomon Rosenberg dengan istri, dua anak laki-laki, dan orangtuanya, ditangkap oleh tentara Nazi dan dimasukkan ke kamp konsentrasi. Di sana hanya ada satu aturan “sederhana”: “Selama kamu masih bisa bekerja, kamu boleh hidup. Namun bila kamu menjadi terlalu lemah hingga tak bisa bekerja, kamu akan dieksekusi.” Tak lama, Rosenberg menyaksikan ayah-ibunya dihukum mati. Anggota keluarga terlemah setelah mereka adalah David, si bungsu, dan ini membuat Rosenberg sangat sedih. Setiap sore, begitu mereka berkumpul kembali di barak, mereka berpelukan dan bersyukur.
Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu kan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. (Mazmur 139:9-10)
Solomon Rosenberg dengan istri, dua anak laki-laki, dan orangtuanya, ditangkap oleh tentara Nazi dan dimasukkan ke kamp konsentrasi. Di sana hanya ada satu aturan “sederhana”: “Selama kamu masih bisa bekerja, kamu boleh hidup. Namun bila kamu menjadi terlalu lemah hingga tak bisa bekerja, kamu akan dieksekusi.” Tak lama, Rosenberg menyaksikan ayah-ibunya dihukum mati. Anggota keluarga terlemah setelah mereka adalah David, si bungsu, dan ini membuat Rosenberg sangat sedih. Setiap sore, begitu mereka berkumpul kembali di barak, mereka berpelukan dan bersyukur.
Suatu sore Rosenberg pulang dan tidak menemukan keluarganya. Setelah mencari-cari, ia menemukan Joshua—putra sulungnya—sedang menangis di sudut. “Papa, hari ini terjadi juga. David tidak mampu bekerja, dan tentara menangkapnya.” Rosenberg bertanya, “Tapi, di mana ibumu?” Joshua menjawab sedih, “Pa, saat tentara datang, David menangis ketakutan. Lalu Mama berkata, ‘Tidak ada yang perlu ditakuti, David.’ Lalu Mama menggandeng tangannya dan menemani David pergi.”
Dalam Mazmur 139, Daud merayakan kemahatahuan dan kemahaadaan Allah sebagai penghiburan besar bagi umat-Nya. Perjalanan hidup kita mungkin tak “seseram” kamp konsentrasi. Namun, tetap saja ada masa yang begitu gelap dan berat. Terlalu menakutkan bila harus kita hadapi sendiri. Kadang keluarga dan kerabat tak selalu ada, tetapi Dia Mahaada. Bahkan dalam tantangan dan kesulitan terbesar pun, Bapa surgawi “akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku” (ay. 10)!
BILA HIDUP MENJADI BEGITU MENAKUTKAN,
PEGANGLAH TANGAN SANG MAHAADA DAN JANGAN LEPASKAN
PEGANGLAH TANGAN SANG MAHAADA DAN JANGAN LEPASKAN
Senin, 04 Agustus 2014
KALAU ENGKAU MAU
Baca: Markus 1:40-45
Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut
di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya, "Kalau Engkau mau,
Engkau dapat menyembuhkan aku." (Markus 1:40)
Dalam sebuah lelucon, seorang motivator meyakinkan pendengarnya, para caleg, untuk selalu memakai kata-kata optimistis, yang dapat menentukan nasib seseorang. “Kalau Anda katakan ‘bisa’, hal itu pasti akan terjadi, demikian pula sebaliknya,” ujar sang motivator. Serentak seluruh caleg yang hadir berkata, “Saya bisa menjadi presiden pada pemilu mendatang.” Dengan tersipu sang motivator berkata, “Maaf, kita hanya bisa punya satu presiden.”
Saat mendatangi Yesus, si kusta memilih kata “Kalau Engkau mau’”. Sangat menarik. Ini bisa ditafsirkan sebagai kalimat pesimis atau bahkan kurang beriman, mengesankan keraguan. Namun, coba kita cermati. Si kusta bukan sedang meragukan kemahakuasaan atau kemampuan Tuhan Yesus. Saat itu ia sedang menanyakan kemauan atau kehendak Tuhan Yesus untuk menyembuhkan dirinya. Ia tidak mendesakkan keinginannya atau memaksa Tuhan Yesus dengan pilihan kata yang optimistis. Ia tampaknya siap jika Tuhan tidak bersedia menyembuhkannya.
Betapa sering saat kita memohon sesuatu kepada Tuhan, kita mengawalinya dengan menyebut “Engkau Mahakuasa” atau “Tiada yang mustahil bagi-Mu”. Tentu semua itu benar. Lalu kita berkata, “Karena itu, aku pasti sembuh dan segala keinginanku akan terpenuhi.” Artinya, kita tidak menghormati kedaulatan dan kerelaan hati-Nya. Fakta bahwa Dia mampu, tidak selalu berarti Dia mau. Mari kita belajar menghormati dan menghargai kedaulatan Allah, bahkan ketika Dia tidak bersedia melakukan keinginan kita.—PBS
Dalam sebuah lelucon, seorang motivator meyakinkan pendengarnya, para caleg, untuk selalu memakai kata-kata optimistis, yang dapat menentukan nasib seseorang. “Kalau Anda katakan ‘bisa’, hal itu pasti akan terjadi, demikian pula sebaliknya,” ujar sang motivator. Serentak seluruh caleg yang hadir berkata, “Saya bisa menjadi presiden pada pemilu mendatang.” Dengan tersipu sang motivator berkata, “Maaf, kita hanya bisa punya satu presiden.”
Saat mendatangi Yesus, si kusta memilih kata “Kalau Engkau mau’”. Sangat menarik. Ini bisa ditafsirkan sebagai kalimat pesimis atau bahkan kurang beriman, mengesankan keraguan. Namun, coba kita cermati. Si kusta bukan sedang meragukan kemahakuasaan atau kemampuan Tuhan Yesus. Saat itu ia sedang menanyakan kemauan atau kehendak Tuhan Yesus untuk menyembuhkan dirinya. Ia tidak mendesakkan keinginannya atau memaksa Tuhan Yesus dengan pilihan kata yang optimistis. Ia tampaknya siap jika Tuhan tidak bersedia menyembuhkannya.
Betapa sering saat kita memohon sesuatu kepada Tuhan, kita mengawalinya dengan menyebut “Engkau Mahakuasa” atau “Tiada yang mustahil bagi-Mu”. Tentu semua itu benar. Lalu kita berkata, “Karena itu, aku pasti sembuh dan segala keinginanku akan terpenuhi.” Artinya, kita tidak menghormati kedaulatan dan kerelaan hati-Nya. Fakta bahwa Dia mampu, tidak selalu berarti Dia mau. Mari kita belajar menghormati dan menghargai kedaulatan Allah, bahkan ketika Dia tidak bersedia melakukan keinginan kita.—PBS
SEMAKIN KITA MENGENAL DIA,
SEMAKIN KITA MENGHARGAI SETIAP KEPUTUSAN-NYA
SEMAKIN KITA MENGHARGAI SETIAP KEPUTUSAN-NYA
Langganan:
Postingan (Atom)